-->

NHW #3: Membangun Peradaban dari Dalam Rumah


Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamualaikum. Kali ini aku mengerjakan NHW alias Nice Homework pekan ketiga. Temanya adalah Membangun Peradaban dari Dalam Rumah. Subhanallah!

Materinya daging dan sukses bikin baper. Soalnya asli mengaduk-aduk emosi jiwa. Membuat diri yang tadinya cuma remahan peyek ini jadi merasa jauh lebih baik dan berharga.

Woow banget ga tuh?

Well, itulah yang aku rasain ketika materi di pekan ketiga itu disampaikan. Sesi diskusi pun berlangsung hangat, ramai respon dari para peserta pembelajarnya.

Sampe-sampe, Bu fasilitator kami, Mbak Mimi menyebutnya dengan minggu melankolis nasional. Hahhaa...

Beres materi disampaikan, keluarlah instruksi untuk NHW #3

Jeng-jeng-jeng!!!

Baper lagi lah Mamak Faraz ini. Hahahaa...
Setelah NHW sebelumnya bikin indikatoe wanita profesional, kali ini semacam lanjutannya.

Baca:

NHW #2: INDIKATOR IBU PROFESIONAL


Waktu bikin indikator ini aja rasanya campur aduk. Sedih ada. Takut ada. Pokoknya baper maksimal juga tuh pas buatnya. Sampe takut bikin banyak, karena takut ga bisa menjalaninya.

Ternyata, setelah didiskusikan kembali, justeru lebih baik banyak karena jadi lebih detail. Hmmm... Indikator itu nanti bakal direvisi (ditambah atau diganti beberapa).

Nah, NHW #3 ini semakin membuat hati melow. Selain rasa takut, rasa sedih karena jadi throwback ke masa lalu lebih dominan.

Ada apa gerangan?

Karena kurang lebih inti dari membangun peradaban ini adalah wanita/ibu yang menjadi Pioneer-nya.

Ini pemahaman versiku ya:
Jadi, kalo wanita, dalam konteks keluarga, yaitu istri atau ibu di dalam rumah itu punya jiwa yang sehat serta pikiran yang positif, maka kedepannya akan terbangun keluarga yang 'sehat' pula.

Istri/Ibu, wanita di dalam rumah adalah dia yang bersentuhan langsung dengan berbagai aspek dalam rumah. Menyediakan makanan, terlepas dari masak sendiri atau beli di luar. Jelas dia yang menentukan. Makanan seperti apa yang akan ia sajikan untuk keluarganya.

Dari hal sekecil itu, peranannya sudah mencakup pemenuhan gizi, berikut supply cinta dan kasih sayang untuk anggota keluarga.

Lalu, ia pula yang menghabiskan banyak waktu dengan anaknya. Ialah yang secara langsung menjadi contoh pembelajaran anaknya. Ibu sebagai madrasah atau sekolah pertama bagi sang anak. Begitu sering kita dengar pepatahnya.

Dan itu benar adanya. Jika ibu dengan jiwa dan pemikiran positif, maka hal itu akan tersalur pada anaknya. Pun sebaliknya.

Maka, penting sekali untuk mengontrol diri, belajar jadi lebih baik dari ke hari.

Sayangnya, istri/ibu juga adalah manusia biasa. Kadang lelah menerpa. Kadang godaan syetan melanda. Sementara iman yang naik turun inilah bentengnya. Saya pribadi sambil terus belajar agar bisa menjaga iman tetap di atas. Sebagai tameng kehidupan.

Sederhananya adalah agar tetap waras.

Karena ketika semua energi negatif memancing untuk membuat kita jadi merugi, hanya iman yang mampu menghalaunya. Bismillah.

Dimulai dengan menerima. Itulah yang diajarkan dalam materi pekan ini. Menerima apa yang pernah terjadi. Barangkali ada luka di masa lampau, kenangan tak mengenakan, dan hal negatif lainnya yang berpotensi membuat jiwa kita 'sakit'.

Yang demikian itu baiknya mulai diterima, dimaafkan. Sehingga tidak akan memengaruhi kehidupan kita yang sekarang. Barangkali ada kisah masa kecil yang akhirnya membuat diri takut, terima, maafkan dan lupakan. Begitu katanya.

Aku pun mulai mencoba menata hati sedemikian itu. Barangkali memang ada yang membuat langkahku tersendat karena memori masa lalu. Dan itu membuat langkahku sekarang ragu-ragu atau malah tertahan. Bismillahirrahmanirrahim.

Selanjutnya, adalah mulai menata hati kembali. Mencoba menemukan kembali alasan mengapa kita sekarang ada di sini, berada dalam keluarga dan lingkungan ini.

Instruksinya adalah membuat surat cinta.

Astaga, sudah berapa purnama tidak menulis surat cinta untum suami. Hahaha...

Ada rasa malu menyeruak, ada juga rasa rindu memori dahulu. Waah, betul-betul yaaaa NHW pekan ini penuh kejutan. Hahaha...

Sehari terlewati, surat cinta masih ditata di dalam kepala. Benak mulai menyusun rangkaian kata.

Niatnya adalah sebuah surat penuh romantisme karena ada rindu yang bergumul.

Tapi nyatanya???

Nampaknya kemampuan ngegombal menulisku memang tak pernah ada. Yang tertoreh jadi tulisan adalag beribu kata maaf dan terima kasih. Sambil dikenai tetesan air mata selama menulisnya.

Sambil main dengan Faraz, aku tulis suratnya. Entah kenapa, di sudut mata malah mengalir anak sungai.

Duh, tercyduk!!!
Faraz liat mamanya nangis.

Ekspresinya lucu. Mungkin dia bingung. Terlanjur basah, mamak ini malah curhat ke anaknya. Padahal dia mungkin ga terlalu ngerti omongan mama. Hahaha...

Kubilang, "Faraz, mama ni lagi tulis surat buat papa. Soalnya lagi bikin PR. Tapi, pas nulisnya mama sedih. Makanya nangis."

Hahaha...
Farazku... Makasih ya dah dengerin mama walaupun bingung. Melihat ekspresi bingungnya begitu akupun tertawa. Tangisan tadi hilang entah kemana.

Subhanallah.
Cepat sekali Allah bolak-balik perasaan yang dari super baper, kembali riang.

Ini adalah hikmah. Pesannya untuk tak terlalu terlarut karen badai pasti berlalu. Eaaaaa...

Oya, tentang surat tadi.

Paragraf pertama, kedua, dan ketiga, isinya tentang maaf dan cerita masa lalu. Tentang rasa yang pernah disampaikan tapi kesannya belum selesai.

Mamak baper karena hal itu sangat membekas di hati. Ada luka yang tertoreh tapi beliau adem ayem saja.

Rasa kesal, rasa kecewa, semua bercampur tiap ingat itu. Kenapa kutuliskan di sana? Bukannya tugasnya adalah untuk menulis surat cinta yang isinya adalah menyampaikan alasan kuat bahwa dialah yabg dipilih layak menjadi suami dan ayah buat anak-anak?

Ya. Karena sebelum maju ke sana. Ada hal yang harus diselesaikan dulu. Aku harus bisa menerima, memaafkan, lalu melupakan kemudian kembali melangkah maju. Bukan begitu nasehatnya?

Itulah yang kulakukan. Kutuliskan dalam surat cintaku. Entahlah. Karena aku merasa kalau di rumah kok rasanya tak bisa dibahas. Tak mau tiba-riba suasana jadi tak enak. Tapi kenyataannya hati masih menyimpan luka. Dan itu lebih tak enak lagi.

Dia ini mungkin terlalu cuek atau mungkin tak peka. Baginya oke sudah berlalu, tapi perempuankan kompleks. Bagiku ini belum selesai. Aku masih sedih kalo ingat.

Ternyata mungkin karena aku belum memaafkan dari hati. Mulut memang sudah bilang oke. Tapi hati tak terima. So, dalam surat itu aku selesaikan semua rasa tak terimaku.

Anak sungai mengalir deras membersamai usahaku meluruhkan rasa tak enak itu. Bismillah aku lepaskan, aku terima, aku maafkan, dan akan kulupakan.

Paragraf berikutnya adalah ucapan maaf dan terima kasih. Karena setelah kusampaikan semua rasa pedih itu, pikiranku mulai 'agak waras' kembali.

Kusampaikan terima kasih, karena terbayang kembali alasan mengapa aku pilih dia dan kami memilih bersama. Kemudian episode perjuangan untuk akhirnya menikah pun terputar kembali.

Ada banyak alasan kuat yang akhirnya menjadi keputusan kebersamaan dalam keluarga ini. Egois sekali pikiran perempuanku karena hampir buta lantaran goresan sedikit. Sakit memang, tapi kalau kucoba putar kembali memori. Ada banyak hal yang patut disyukuri.

Dengan begitu aku pun ingat lagi alasanku memilih bersamanya.

Duh emaaak, hidup berkeluarga itu memang benar seperti berlayar di tengah lautan. Ombak menerjang, belum lagi cuaca buruk, jangan lupa juga soalan hewan buas yang mengintai. Masyaallah!

Keep strong!!!
Hanya iman yang mampu membuat kita 'sehat'.


Beres 2 lembar surat virtual kutuliskan. Kukirimkan saat beliau lagi kerja.

Dag-dig-dug menunggu responnya sambil membaca ulang surat yang kutulis. Semoga pilihan kata-kataku ini bisa mewakili perasaan di hati dan mampu diterima sehingga pesannya tersampaikan. Begitu harapan di hati.

Menjelang siang, di waktu istirahat kerjanya, kuliat pesanku sudah masuk dan sedang dibaca.


Wooow... Rasanya seperti sedang ujian dan menanti kalimat respon penguji. Hahaha...

Tring!
Pesan masuk ke WA-ku.


Hmmmm...
Oke fix. Panjang kali lebar kali tinggi kutulis surat sambil banjir air mata. Beliau balasnya sedikit gitu aja.

Hahahaaa...
Antara yang 'what???!! Gini doang responnya?" dan lucu.

Yah, jelas memang otak laki-laki dan perempuan itu beda toh. Hahhaa...

Okelah.
Baiklah.

Kemudian aku lanjut main sama Faraz lagi.

Lalu, apakah kemudian terasa hasil dari surat itu? Tentang jatuh cinta lagi?

Sebenarnya ga disuruh tulis surat cinta lun aku selalu jatuh cinta pada suamiku. Setiap hari. Saat kulelah, lalu kulihat dia. Kutau ia lebih lelah. Saat kusedih, lalu kulihat dia, kutak mau dia ikut sedih.

Ya jadinya begitu sih, ada jeleknya tadi. Aku ternyata jadi sedih sendiri dan full of negativity. Tapi sekarang sudah belajar di kas MIIP. Udah tau kalo itu ga penting. Jadi, ga mau lagi capek-capek gitu.

Sekarang fokus mau jadi better!

Selanjutnya, adalah disuruh melihat kekuatan anak. Sebenarnya aku bingung. Faraz ini masih bayi. Baru 7 bulan lewat umurnya. Mau kutanya, jelas belum bisa. Jadilah aku menjelma sebagai observer penelitian. Hehee...

Kulihat, Faraz ini cepat sekali tanggapnya. Dia pandai meniru dan mudah diajari. Waktu itu di jatuh dari kasur. Selanjutnya dia tak mau dekat-dekat pinggir kasur lagi.

Well, walaupun aku pernah baca juga. Bahwa memang semua anak itu jenius. Mereka adalah pembelajar ulung. Apalagi di masa usia emasnya hingga 3 tahun. Semacam ada insting belajar dari yang sudah pernah mereka alami.

Jadi, kupikir tak hanya Faraz yang pandai begitu. Semua anak juga begitu. Lalu, aku mencoba melihat lagi apa yang ada padanya.

Faraz mungkin memang masih bayi, selain karena banyak stimulus yang kuberikan, memang rasanya dia ada potensi belajar yang baik. Dia senang mengamati lalu mencoba sendiri.

Aku sering mencoba bermain bola warna-warni dan menanyakan warna-warna padanya. Surprisingly, Faraz bisa menunjuk warna yang kuminta. Subhanallah buatan Allah nih!

Di usia 7 bulannya ini, Faraz juga sudah bisa mengambil sikap. Dia bisa menunjukan mana yang ia mau dan yabg tidak ia mau. Ia juga senang saatanak-anak baik sebaya maupun labih tua daripada ia main bersama. Kemampuan komunikasinya makin terbangun. Alhamdulillah.

Bisa kusimpulkan untuk saat ini potensi kekuatan Faraz adalah dalam bersosial dan belajar.

Lalu, aku mencoba mencari tau kekuatan dan potensi diri. Mencoba membaca kehendak Allah tentang mengapa aku dihadirkan di tengah keluarga ini, di lingkungan ini, serta tantangan di depan nanti.

Duh, apa potensi diri ini? Rasanya lebih enak kalau orang yang menyampaikan. Karena menilai diri sendiri itu rentan subjektif.

Tapi, karena begitu tugasnya, aku coba membaca pesan Allah yang dititipkan padaku. Bismillah.

Aku menekuni dunia mengajar, aku suka menulis, aku suka berkerajinan berkerajinan tangan, memasak, dan berkebun.

Apa potensiku?
Kalau sesuai dengan pendidikanku, ya tentu saja mengajar. Tapi untuk saat ini aku memilih membersamai bayiku terlebih dahulu. Ada rencana kedepannya, tapi masih dalam bayang-bayang.

Yang bisa kulakukan agar bisa terus mengajar dan membersamai Faraz adalah dengan mengajar di/dari rumah. Sudah kulakukan sejam dulu. Aku mengajar siapa saja yang datang berkunjung ke blogku. Blog khusus yang isinya materi ajar.

Aku juga berencana mungkin akan menyediakan tempat belajar di rumah. Yah, sudah banyak yang meminta juga sebenarnya tapi saat ini aku masih fokus untuk Faraz. Insyaallah tahun depan akan dimulai proyek belajar bersama di rumahku.

Selanjutnya, menulis. Untum hobiku yang ini aku masukkan ke kategori potensi juga. Karena 2 tahun belakangan, dari hobi menulisku ini ada peluang penghasilan tambahan yang kuperoleh.

Senang sekali rasanya menggeluti hobi kemudian menghasilkan. Alhamdulillah. Aku juga mengajak (masih lingkup keluarga dulu) untuk mulai menulis. Sebenarnya, adik-adikku sudah terbiasa menulis dan masing-masing memiliki blog sendiri juga. Namun, jarang menulisnya. Makanya aku pun mengajak mereka untum aktif kembali. Karena sungguh menulis itu memiliki efek positif. Ini juga yang menjadi hiburanku selama di rumah.

Aku tinggal di lingkungan yang sangat dekat dengan masjid. Mungkin ini adalah cara Allah mengatakan padaku untuk belajar lebih banyak lagi. Semoga aku bisa konsisten dan jadi lebih baik dalam beribadah juga. Aaamin.

Ternyata membaca maksud Allah dari lingkungan seperti ini asyik juga ya.

Aku jadi menemukan banyak alasan positif untuk tetap terjaga dan melakukan hal-hal baik.

Bismillah.

NHW #3: Membangun Peradaban dari Dalam Rumah