Aku masih ingat jaman-jaman baru lulus kuliah dan musim ikut Job Fair.
Ada banyak sekali dokumen yang harus disiapkan kala itu. Untuk membuat satu set lamaran kerja, yakni surat lamaran dan semua lampirannya, bisa dikatakan cukup menguras dompet.
Apalagi saat itu memang masih keadaan pengangguran. Belum ada modal sama sekali. Mau tak mau balik lagi deh minta modal ke ayah dan ibu.
Ha Ha Ha.
Kalian pasti bertanya-tanya:
"Kok bisa sih bikin lamaran kerja malah menguras dompet?"
Well, suka atau tidak suka memang seperti itu pengalamanku.
Jadi, proses melengkapi semua persyaratan untuk melamar kerja itu R.I.B.E.T. Setidaknya itu yang kurasakan saat itu.
Bayangkan saja, jika sebuah perusahaan memberikan syarat tersedianya surat keterangan sehat, surat kelakuan baik, belum lagi foto (kalau sudah lamaran ke sekian, adaaaa aja kehabisan pas foto).
Semua pembuatan dokumen itu tentu butuh "uang pelicin". Itu yang terjadi dulu.
Sekarang nampaknya sudah jauh lebih baik. Aku lihat banyak tempat terutama bagian pemerintahan sudah terang-terangan memberikan himbauan tentang tidak boleh ada lagi hal-hal demikian.
Jujurly, aku sebenarnya tahu bahwa menyelipkan uang untuk memperlancar urusan itu bukan hal yang benar. Tapi, entah mengapa ekosistem jaman dulu itu mengisyaratkan bahwa hal tersebut adalah lumrah. Bahkan menjadi aneh ketika semua orang melakukannya dan kita tidak.
Seolah mendapat cap bahwa kita sedang merusak kebiasaan. Sehingga mau tak mau hal tersebut terjadi begitu saja seolah adalah hal yang biasa.
Kalau kuingat kembali, selain karena 'kebiasaan' yang salah, belum berpengalamannya diriku dalam segala hal tentang proses melamar pekerjaan membuat dompet semakin jebol.
Karena kurang pengalaman itu, ada banyak sekali dokumen yang sebenarnya tidak dibutuhkan tapi malah kuurus dan kubuat dengan sistem yang salah itu.
Disebutlah gratifikasi.
Konyol sekali.
Waspada Gratifikasi = Korupsi
Kira-kira apakah kamu tahu hubungan gratifikasi dengan korupsi?
Tadinya kuanggap hal tersebut tak mengapa.
Ada perasaan semacam:
"Ah, uang yang kuberi tak seberapa. Hitung-hitung rasa terima kasih. Aku tak keberatan kok. Dia kan sudah membantuku."
Nah, hati-hati yaaa.
Perasaan seperti itu yang kemudian menggiring kita untuk melakukan gratifikasi.
Padahal toh memberikan pelayanan tersebut sudah menjadi tugasnya. Negara pun sudah menjaminnya dengan memberikan upah yang sesuai.
Jadi, alih-alih merasa tidak enak atau berterima kasih dengan berlebihan namun bisa membuat pegawai itu terjerat hukum, baiknya kita sudahi kebiasaan itu ya.
Tahukah kamu? Dari situs aclc.kpk.go.id disebutkan bahwa gratifikasi yang tidak dilaporkan dalam waktu maksimal 30 hari dapat dianggap suap. Dari Undang-Undang tersebut, maka erat kaitannya gratifikasi termasuk dalam tindak korupsi.
Duh, jangan sampai niat baik kita malah berpotensi menjatuhkan mereka yang bertugas.
Karena ada banyak sekali praktik demikian, sebuah survei menunjukan bahwa faktor terbesar yang membuat pertumbuhan bisnis di Indonesia terhambat adalah karena permasalahan korupsi. Nilai persentase surveinya sampai pada angka 13,8%.
Hal ini mengakibatkan nuansa bisnis di Indonesia menjadi kurang sehat. Beberapa diantaranya:
- Terjadinya ketimpangan pendapatan
- Munculnya harga tinggi namun kualitas rendah
- Aktivitas ekonomi menjadi tidak efisien, dan lain sebagainya.
Lalu, apa yang bisa dilakukan?
"Apakah kamu masih sering berterima kasih dengan kebiasaan lama itu?"
Mohon maaf sudah tidak bisa.
Pemerintah Provinsi Sumsel sudah berkomitmen untuk mewujudkan Sumsel Hijau tanpa Gratifikasi. Semua lini pemerintahan bahkan masyarakat sudah diedukasi terkait hal ini.
Beberapa kali aku mampir ke kantor pemerintahan karena suatu urusan, X-banner yang terpampang di sana menunjukan betapa semua sedang bersama-sama membangun Sumsel hijau tanpa gratifikasi.
Himbauan bahkan larangan melakukan kebiasaan lama itu terus digaungkan hampir di seluruh wilayah Sumsel ini.
Tak hanya itu, untuk membuktikan komitmen tersebut, Pemprov Sumatra Selatan pun membentuk Lembaga Inspektorat Provinsi Sumatra Selatan yang bertugas sebagai internal controller di lingkup pemerintahan daerah Sumatra Selatan.
Senaaang sekali rasanya.
Aku tak harus merasa sungkan lagi karena merasa mengacaukan kebiasaan.
Sumsel Maju untuk Semua!
Alhamdulillah.
semoga seluruh indonesia bisa menjadi zona bebas gratifikasi
ReplyDelete