Hari ini (26/2/2015) ada banyak tajuk berita di televisi nasional.
Terkadang ada berita yang berlarut tanpa ujung sehingga terkesan macam sinetron.
Untuk orang awam seperti saya, tentu saja itu terkadang membosankan LOL
Beberapa hari sebelumnya kisruh pernyataan blunder dari Perdana Menteri Australia, Tony Abbott yang mengungkit bantuan kemanusiaan untuk bencana alam Tsunami di Aceh tahun 2004 silam.
Hal ini menyulut kekecewaan rakyat Indonesia tentunya. Betapa dari sisi manapun, bantuan kemanusiaan dari negara jiran Indonesia ini hendak disetarakan dengan kesalahan penyusup narkoba asal mereka yang hendak dihakimi di Indonesia tentulah rakyat tak sepaham dengan pemikiran PM Australia ini. Hukum Indonesia jangan diintervensi!
Berita ini hangat dibicarakan di berbagai situs berita. Inilah salah satunya http://news.okezone.com/read/2015/02/22/337/1109004/warga-aceh-siap-kembalikan-dana-bantuan-australia-saat-tsunami

"Pernyataan Abbott dinilai bukan hanya melukai korban tsunami, tapi juga warga Australia yang ikhlas membantu."Tentu saja, ada banyak orang kecewa atas pernyataan beliau, baik warga negara Aussie itu sendiri. Benarlah bahwa lidah tak bertulang, apa daya jika terlanjur terluka. Agak mereda pemberitaan itu, namun aksi kumpul koin untuk Aussie tetap berlangsung.
Pagi ini, tajuk berita mengangkat kekecewaan para nelayan Pantura yang mengadakan demo di depan kantor KKP Jakarta. Rombongan demonstran dari kabupaten Pati, Rembang, Tegal, Batang, Brebes, Indramayu, dan Cirebon berbondong mendatangi kantor ibu menteri KKP, Ibu Susi.
Bermacam atribut demo teah disiapkan begiru juga yel- yel orasi khas demonstran menggema.
Ada- ada saja atribut demo yang berhasil membuatku tersenyum pagi ini, antara senyum geli juga miris. Tertulis pada sebuah media tulis yang dipegang oleh salahsatu demonstran singkatan nama ibu Susi; Sulit Urus Surat Ijin.
![]() |
sumber: google.com |
Ya, hal inilah yang para demonstran coba untuk komunikasikan dengan ibu menteri.
Tentang IZIN menangkap ikan. Memang semenjak dilantiknya ibu Susi sebagai menteri KKP RI ini ada banyak pemberitaan menarik. Saya pribadi sebenarnya bukanlah orang yang memihak kanan ataupun kiri, namun juga bukanlah orang yang berada di tengah- tengah. Well, katakanlah cenderung skeptis.
Ketika orang- orang membicarakan betapa tak layaknya tingkah sang ibu menteri di Istana negara saat dilantik, saya menghargainya sebagai individu. Ups, jangan serta- merta teman- teman lantas menilai saya sebagai seorang aktivis HAM^^ saya bukan siapa- siapa. Saya hanya WNI yang baru beberapa tahun memegang licence sebagai WNI sah dengan kartu pengenal warga yang dinamakan KTP itu. Bukanlah ahli politik, hanya generasi penerus yang mencoba melihat dan memahami apa yang sedang terjadi di negara tersayang ini; bukan untuk memihak kepentingan ormas politik atau agama manapun, hanya melakukan yang diwasiatkan seorang teladan: IQRA'
Saya membaca apa yang terjadi, sehingga 'lucu' saja melihat kisruh ini.
Tadi di TV juga ada demonstran yang diwawancara, dengan berapi- api beliau meluapkan betapa ia kecewa atas larangan lainnya selain larangan penggunaan kapal cantrang, yaitu larangan penangkapan lobster petelur. Bapak itu menyatakan bahwa hal itu merugikan nelayan kecil, karena sayangnya sudah dapat lobster tapi karena lobster itu adalah lobster petelur maka harus dilepas ke laut lagi. UPS...
Saya heran, yah tapi memang saya bukanlah nelayan atau orang yang merasakan kesulitan mereka. Tentu saya tidak paham betapa mungkin sulit sekali saat ini mereka mendapat ikan, hingga sayang rasanya jika mendapat perolehan maka harus dilepas kembali. Well, kita tidak bisa berkomentar jika tidak mengalaminya bukan?
Laut kita sedang sakit. Itu yang saya tahu. Mungkin karena kita sempat terlena akan penggunaan beberapa alat yang tidak semestinya. Tadinya mudah saja bahkan mungkin berlimpah hasilnya dengan bantuan alat itu, tapi waktu tidak akan berbohong. Alat- alat itu tidak lagi memudahkan, dengan alat itu pun sekarang tidak banyak lagi perolehan para nelayan ini. Apalagi tanpa bantuan alat 'itu'??? kebayang susahnya para nelayan ini :-(
Kebijakan yang sedang disosialisasikan adalah upaya 'penyembuhan' sakitnya laut alias perairan kita.
Tentu saja sulit membuat ayam kembali terbang, sudah terbiasa memperoleh makanan di tanah sebagai hewan ternak, tak terbiasa lagi terbang berlama- lama. Inilah fenomena yang sedang terjadi di tanah air kita. Butuh waktu, ketelatenan, dan komitmen bersama. Lagi pula, perlu seirama antara sosialisasi perubahan kebiasaan dengan sarana penggantinya.
Berharap nanti para nelayan ini mendapatkan kesempatan untuk menyampaikan keluh- kesahnya dengan ibu Menteri serta menemukan titik temu untuk permasalahan ini.
Lagi- lagi, sebagai awam yang mencoba memahami sesuatu yang tengah terjadi, saya tidak akan serta- merta percaya dengan pihak manapun. Harapan saya semoga para nelayan nan bebudi ini benar- benar melakukannya karena merasa perlu melakukannya bukan karena ada dorongan dari pihak yang mengambil kesempatan untuk menyisipkan kepentingan bus*knya (ups...)
Tentu ada Pro dan Kontra untuk pemberitaan ini. Misalnya seperti yang telah disampaikan oleh salahsatu teman kita dilaman ini http://regional.kompasiana.com/2015/01/29/kebijakan-larangan-pukat-hela-dan-pukat-tarik-think-again--704513.html
Yang bukan nelayan tentu tak bisa memberi penilaian sepihak saja tentang demo yang dilakukan hari ini. Saya pribadi mendukung jika para nelayan memang merasa perlu menyampaikan 'unek- unek' nya yang memang saya nilai perlu jika menilik dari tulisan kang Irsyad diatas.
Suatu kebijakan tidak akan dengan mudah mendapatkan tempat terlebih tanpa ada solusi.
Para nelayan butuh solusi untuk kebijakan baik ini. Niatan baik akan bersambut baik jika sudah seirama Toh? Mungkin hari ini bisa diperoleh sebuah kesepakatan untuk mencapai titik terang. Amiiin.
Tapi, sebenarnya memang peraturan ini (larangan penggunaan beberapa alat tangkap; pukat hela, pukat jaring dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2/PERMEN-KP/2015), sudah ada sejak lama seperti yang disampaikan oleh ibu menteri dalam laman berita berikut :
“Cantrang ini sebenarnya sudah dilarang sejak 1980. Hanya, beberapa daerah masih memperbolehkannya,” ujar Susi kepada Tempo di gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Kamis malam, 12 Februari 2015." (sumber: tempo.co)
Saya yang juga awam dengan alat- alat ini akhirnya mencari tahu mengapa hal ini dilarang, begitu berbahaya kah? Kenapa nelayan PANTURA? Hanya beberapa daerah saja yang boleh pakai? Daerah mana? Kenapa? Apa dasarnya?
Banyak pertanyaan saya atas tajuk berita ini, sehingga sebagai orang yang bukan di pihak mana- mana saya pun tertarik untuk mencari tahu. Akhirnya saya sampai pada sebuah laman yang menjelaskan tentang pukat hela. merujuk Pustaka : Permen Kelautan dan Perikanan Nomor. PER.06/MEN/2008 dan Bentuk Baku Kontruksi Pukat Hela Arad SNI 01-7233-2006 BSN.
Sila klik link berikut untuk lebih jelas tentang Permen diatas:
http://mukhtar-api.blogspot.com/2008/09/mengenal-pukat-hela.html
Teman- teman dapat mempelajari lebih lanjut tentang alat ini dan lihatlah! Peraturannya sudah ada dan resmi sejak tahun 2008 lalu. Perkara mengapa selama ini menjadi kebiasaan para nelayan PANTURA tentu "mungkin" saja karena kurangnya pengawasan akan pemberlakuan aturan hukum ini. Artinya apa???
Teman- teman lebih bijak menarik kesimpulan tentunya ;-)
Saya mendoakan agar ada titik terang komunikasi hari ini disana.
Lestarikan alam Indonesia.